Selasa, 15 Mei 2012

 Dua Pilihan Sulit Megawati Pada Pilpres 2004
 
 Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri
MEDIA INFORMASI  - Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri berkisah tentang pengalamannya ketika menjadi Presiden Indonesia. Pengalaman itu dituturkan Megawati saat menjadi pembicara dalam seminar ”The Role of Women in Politics” di Universitas Innsbruck, Austria, Selasa 15 Mei 2012.
Dalam siaran pers yang dikirim Kesekretariatan Dewan Pimpinan Pusat(DPP) PDI Perjuangan, kepada vivanews.com, Megawati mengisahkan bagaimana susahnya menggelar pemilihan umum dan pemilihan presiden secara langsung, setelah hampir 32 tahun demokrasi hampir absen dari negeri ini.
"Saya berketetapan untuk melaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan azas jujur, adil dan demokratis. Hal ini tidak mudah," kata Megawati dalam siaran pers itu. Tantangan terbesar, lanjutnya, adalah pada pilihan apakah dia harus memenangkan pemilihan presiden itu atau memenangkan demokrasi.

"Ketika dihadapkan pada pilihan ini, dengan sangat yakin saya memilih yang kedua: memenangkan demokrasi. Karena saya berkeyakinan rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi," kata Megawati.

Pilihan itu tidak mudah, sebab begitu banyak godaan dan instrumen di depan mata yang bisa dipakai untuk memenangkan pemilihan presiden. Ada yang membujuk agar memakai birokasi. Dan banyak pula yang dengan senang hati mendukungnya sebagai incumbent. Salah satu godaan terbesar adalah mengunakan sumber daya negara guna memenangkan pemilihan itu.
"Singkatnya, saya harus menghadapi mentalitas dan gaya politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Di sinilah diperlukan kematangan dan kesadaran akan tujuan," ucap istri Ketua MPR Taufiq Kiemas. Dalam situasi itulah, dirinya secara sadar memahami bahwa inti persoalan demokrasi Indonesia terletak pada ketiadaan sikap etis dalam berpolitik.

"Karenanya, saya memilih untuk menolak semua tawaran dan tekanan dari kekuatan anti demokrasi di atas. Sebagai pemimpin, saya sadar bahwa satu tindakan salah dalam masa genting transisi Indonesia, bisa membawa negeri dan rakyat saya ke jurang kehancuran," ucapnya.

"Pada titik ini saya tidak lagi berpikir tentang laki-laki atau perempuan, tetapi saya berpikir untuk Indonesia. Dan anehnya, hingga saat ini, saya tidak pernah menyesali, bahkan sebaliknya merasa bangga dengan keputusan yang saya ambil."

Megawati berharap pengalamannya tersebut dapat menjadi inspirasi, tidak hanya bagi kaum perempuan, tetapi bagi seluruh warga bangsa untuk tidak ragu dalam mengambil keputusan politik.

"Bagi saya politik adalah pengabdian tanpa akhir untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik; Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan," tuturnya.

Cita-cita politik Indonesia terhadap persaudaraan dunia, kata Megawati sangatlah jelas: membangun tatanan dunia baru yang lebih berkeadilan dan lebih berkeadaban.  "Dari cita-cita inilah saya menegaskan bahwa perjuangan saya belum selesai," tegasnya.